Luvita, bukan nama sebenarnya, sangat geram. Perempuan berusia 24 tahun ini menemukan akun kelima yang menggunakan wajahnya untuk kebutuhan bisnis esek-esek, populernya disebut Open BO. Setelah berkali-kali melaporkan  ke platform media sosial, masih saja muncul akun baru yang mengambil gambar dari akunnya dan menempelkan dengan tubuh berbeda. Beda cerita dengan andia, juga bukan nama sebenarnya. Ia merasa terancam karena akunnya seakan dipantau oleh beberapa akun anonim secara terus menerus. Dengan memakai gambar profil orang dari luar negeri, akun-akun tersebut secara rutin melihat semua unggahannya. 

Kasus yang dialami Luvita dan Andia menjadi gambaran lain sisi gelap teknologi.  Kecanggihan teknologi diakui tidak hanya membawa hal baik kemudahan bagi masyarakat, tapi ternyata juga berpotensi menyebabkan penyalahgunaan. Dari kedua cerita di atas, terdapat satu aktivitas yang dapat mengarah pada kejahatan yaitu penguntitan digital atau cyberstalking. Merujuk pada Black's Law Dictionary 11th edition, aktivitas ini didefinisikan sebagai tindakan mengancam, melecehkan, dan meneror, serta mengganggu seseorang melalui  berbagai  pesan  e-mail, seperti melalui internet, khususnya dengan maksud menempatkan penerima dalam ketakutan akan terjadinya tindakan ilegal atau tindakan yang dapat menimbulkan cedera pada penerima atau anggota keluarganya. Dengan perkembangan teknologi yang semakin mengakar, Cyberstalking perlu dipertimbangkan sebagai ancaman yang diwaspadai sama seperti hacking, phising, sniffing, dan kejahatan siber lainnya.

Cyberstalking adalah bentuk baru dari perilaku kriminal yang melibatkan ancaman yang tidak diinginkan atau perhatian yang tidak dapat dibenarkan melalui penggunaan internet yang sangat mengganggu korbannya (Redha, 2019). Aksi ini bisa berbahaya lantaran informasi identitas pribadi dapat dengan mudah diketahui oleh pelaku yang bahkan tidak dikenali korban. Cyberstalking sendiri bukanlah tindakan kriminal karena hanya memantau aktivitas di dunia siber, namun perilaku yang awalnya hanya sebatas pemantauan belaka, dapat mengarah pada perilaku kejahatan lainnya seperti pelecehan, penipuan, dan banyak tindakan lain.

Untuk melengkapi analisis pustaka di tulisan ini, penulis mendengar sudut pandang para korban dari kalangan anak muda berumur 20 hingga 30 tahun. Riset pustaka dipadukan dengan melalui wawancara beberapa korban secara insidentil sebanyak empat orang dengan latar belakang yang berbeda : seorang mahasiswa, pekerja kantoran, dan tidak bekerja. Tulisan ini mencoba menunjukkan temuan bahwa dampak penyalahgunaan yang disebabkan dari cyberstalking di beberapa media sosial bervariasi, mulai dampak yang paling ringan sampai terberat hingga membuat korban merasa terancam.

Dalam praktiknya, motif para cyberstalker melakukan cyberstaking sangat beragam dan tulisan ini menemukan beberapa di antaranya. Pertama terdapat akun menyerupai akun asli korban atau mengimitasi identitasnya. Informasi kemunculan akun tersebut didapatkan dari orang lain yang merupakan rekan korban. Pada kasus lain, ketidaknyamanan dari komentar warganet akibat dampak cyberstalking muncul ketika korban mendapati pengunggahan video pribadi lewat akun repost di salah satu media sosial dengan tanpa izin. Anehnya, korban tidak pernah mempublikasikan video tersebut melalui Instagram, melainkan hanya melalui Whatsapp dengan basis orang tertentu saja yang bisa melihat. 

Dampak cyberstalking semakin mengerikan ketika akun instagram korban di-tag oleh akun yang mengatasnamakan dirinya. Akun tersebut membuka jasa prostitusi online dengan menyertakan postingan yang tidak senonoh dan story instagram bertuliskan ”Open BO”. Parahnya, akun tersebut juga menyisipkan tagar yang menuju ke akun jurusan suatu universitas tempatnya berkuliah saat itu. Hal ini terjadi secara berulang-ulang sebanyak lima kali hingga menyebabkan nama baik korban tercoreng. 

Temuan kasus cyberstalking yang paling mengerikan dialami oleh korban yang secara tiba-tiba mendapatkan pesan melalui direct message yang mengaku mengetahui posisi rumah dan tempat korban berkuliah. Kejadian tersebut diperparah dengan pelakj yang terus meneror hingga berujung pengancaman ketika korban bermaksud memberikan nasehat. Kala itu korban sedang memberikan masukan terhadap tweet seseorang yang ia rasa kurang cocok. Tak disangka niat baiknya tak disambut baik pula, pemilik kicauan tersebut malah tersinggung hingga membawa massa untuk meneror korban hingga ada kurang lebih 100 notifikasi masuk diakun korban yang memberikan ancaman pembunuhan, penganiayaan, kata-kata kasar, mengirimkan lokasi rumah dan akan mendatangi rumahnya dan membuat pemilik akun perlu untuk mengindarkan diri dari sosial media karena merasa takut ketika menghadapi kejadian yang serupa.

Dapat dipahami bahwa cyberstalking sangat kentara berdampak pada psikis dan mental korban. Pencarian solusi agar terhindar dari kejadian serupa tidak dapat dijelaskan dan dipaparkan dengan gamblang. Namun hal terpenting yang perlu diketahui bersama, cyberstalking merupakan suatu keniscayaan di era teknologi digital yang siapapun dapat mengalami dan menjadi korban atau justru bisa menjadi pelaku. Sehingga upaya pencegahan harus dimulai dari diri sendiri, bagaimana individu bisa memfilter pemanfaatan media sosial baik untuk penggunaan pribadi maupun untuk konsumsi publik.